Kamis, 26 Juni 2014

Stop kekerasan terhadap suporter, sebuah otokritik diri


OrenMadura- Akhir-akhir ini di lini masa menjadi akrab dengan kalimat “stop kekerasan terhadap supporter”, mungkin sejak kejadian di tol cikampek beberapa bulan lalu. Suporter memang selalu dianggap biang rusuh, di belahan dunia manapun supporter selalu dijadikan kambing hitam. Mungkin masih jelas diingatan kita tragedi heysel, Hillsborough, ataupun saat laga oldfirm derby di Ibrox menjadi pelengkap stigma terhadap supporter.
Sama halnya dengan kasus di luar Indonesia, kasus-kasus kekerasan sepakbola di tanah air selalu menjadikan supporter sebagai sasaran tembak kesalahan. Sebenarnya banyak faktor menjadi penyebab terjadinya kekerasan di sepakbola. Diluar system yang bobrok, pengamanan yang tidak sesuai protap, ataupun panpel yang mindsetnya ‘sing penting tiket ludes’. Harusnya perlu dipahami juga psikologis supporter. Hal ini penting guna memahami cara berpikir supporter terhadap realita yang ada.
Fokus dan lokus dari tulisan ini adalah bagaimana supporter harus memahami jika dunia supporter memang dekat dengan kekerasan di stadion atau bahkan di jalan, dekat dengan kekerasan bukan berarti melegalkan kekerasan. Dunia supporter memang identik dengan pria, dan pria akan menunjukkan maskulinitasnya dengan cara-cara yang cenderung show off kekuatan mengarah tindakan destruktif. Hal tersebut yang harus dipahami dulu oleh supporter di Indonesia. Sehingga sadar atau tidak kekerasan terhadap supporter sebenarnya hanya menunggu supporter sebagai pelaku atau korban dari kekerasan itu sendiri.
Bertindak wajar adalah cara bijak menanggapi masalah tersebut, tanpa harus terkesan merengek atau bahkan diam seribu bahasa ketika sasaran tembak mengarah ke supporter. Rasanya terlalu berlebihan jika terus-menerus meminta beberapa pejabat kepolisian untuk mundur sedangkan disisi lain kaos-kaos bertuliskan kejadian tersebut dipakai dengan penuh bangga, ataupun merengek menolak lupa sedangkan pelaku sudah dijebloskan di hotel prodeo. Disparitas ini harus dicermati sebagai kepandiran untuk memilah dan menempatkan supporter itu sendiri dalam kekerasan sepakbola di Indonesia, karena memang terkadang sulit memilah antara sebagai korban atau pelaku. Dan rasanya kejadian terakhir di Palembang adalah cara-cara anomali dari kebiasaan kekerasan di dunia supporter di seluruh dunia. Dan kejadian di Palembang perlu dikecualikan dalam tulisan ini.
Point utama dari tulisan ini adalah sepakbola olahraga yang lebih dari  sebuah permainan biasa, ada nilai-nilai yang dibawa di dalamnya, kebanggaan akan rasialis, primordialis atau bahkan fasis di dalamnya. Untuk fasis boleh dikecualikan, karena supporter tetangga saja yang sibuk berbicara fasisme tanpa tahu beda fasis dan rasis. (VK-JO)
*respect for all victims in Tragedy Palembang, you’ll never walk alone!
[Sumber: JakOnline]


Share to

Facebook Google+ Twitter Digg

0 komentar:

leave comment

Untuk membagikan artikel ini klik kanan pada jejaring sosial yang akan dipilih dan pilih "Buka Tautan Di Tab Baru"



Terima kasih telah mengunjungi blog kami,Semoga bermanfaat untuk anda Bila ada masalah dalam penulisan artikel ini silahkan kontak saya melalui komentar atau share sesuai dengan artikel diatas.

Me

Posting Komentar

KAMI SIAP KEMBALIKAN KEJAYAAN !!!

Posted by The jak madura on 4 April 2015